in

Sedikit Tentang Hadits

- - No comments
Mengenal Hadits:

Hadits adalah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan, ketetapan, dan sebagainya.

Unsur yang harus ada dalam hadist:

  1. Rawi (Perawi) adalah orang yang menyampaikan atau menuliskan hadits dalam suatu kitab atas apa yang pernah didengar dan diterimanya dari seseorang atau gurunya. Perbuatannya menyampaikan hadits tersebut dinamakan merawi atau meriwayatkan hadits dan orang disebut perawi hadits.
  2. Matan, adalah pembicaraan  (kalam) atau materi berita yang berakhir pada sanad yang terakhir. Pembicaraan itu baik berupa sabda Rasulullah SAW, sahabat maupun tabiin (Tabiin adalah seorang yang bertemu dengahan sahabat, baika pertemuan itu lama atau sebentar, dalam keaadan beriman dan Islam, serta wafat dalam keadaan Islam). Pembicaraan itu juga bisa tentang perbuatan Nabi, maupun perbuatan sahabat yang tidak disanggah nabi. Matan adalah isi hadits.
  3. Sanad adalah jalur periwayatan yang dapat menghubungkan matan hadits kepada Nabi Muhammad SAW.

Klasifikasi hadist. Berdasarkan  tinjauan penerimaan dan penolakannya: 

  1. Sahih, adalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, kuat hafalannya, sanadnya bersambung, tidak ber’Illah (‘Illah adalah sebab sebab tersembunyi, yang dapat merusak kesahihan hadis, seperti me- muttashilkan yang munqathi’, me-marfu’-kan yang mauquf, memasukkan suatu hadis kadalam hadits yang lain, menempatkan sanad pada matan yang tidak semestinya, dan hal hal yang serupa dengan contoh tersebut. Semua itu dapat merusak kesahihan hadits), dan tidak terdapat kejanggalan pada matan haditsnya.
  2. Hasan, adalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, tapi tidak begitu kuat hafalannya, bersambung sanadnya, dan tidak terdapat ‘illah serta kejanggalan pada matannya.


Kedua  di atas di sebut sebagai hadits yang Maqbul,yaitu hadits yan g mempunyai sifat-sifat yang dapat diterima sebagai (dasar hokum). Biasanya hadis hasan dijadikan hujjah untuk hal hal yang tidak terlalu berat atau terlalu penting.
3. Dhaif, adalah hadis yang kehilangan satu sarat atau lebih dari sarat2 hadis sahih atau hadis hasan. Hadis dhaif banyak ragamnya dan mempunyai  perbedaan derajat satu sama lain, disebabkan banyak atau sedikitnya syarat-syarat hadis sahih atau hasan yang tidak dipenuhinya.

Lima syarat hadis sahih

  • Perawinya adil
  • Hafalannya kuat
  • Sanadnya tidak terputus
  • Haditsnya tidak ber ‘Illah
  • Matan haditsnya tidak janggal

Empat syarat perawi adil.

  • Selalu memelihara ketaatan dan menjauhi maksiat
  • Menjauhi dosa-dosa kecil yang dapat menodai agama dan sopan santun
  • Tidak melakukan perkara-perkara mubah yang dapat menggugurkan iman kepada qadar dan mengakibatkan penyesalan,
  • Tidak mengikuti pendapat salah satu mazhab yang bertentangan dengan dasar syariat

Bolehkah berhujjah dengan hadits Dhoif?

Para ulama sepakat melarang meriwayatkan hadis dhaif yang maudhu’ (Maudhu’ adalah hadis yang dibuat oleh seseorang  pendusta, kemudian hadis itu mereka sebut sebagai sabda Nabi SAW, baik disengaja atau tidak) tanpa menyebutkan kemaudhuannya. Adapun  kalau hadis dhaif itu bukan hadis maudhu, diperselisihkan tentang boleh atau tidaknya menjadikannya sebagai hujjah (dasar hokum).

Pendapat pertama melarang secara mutlak
meriwayatkan segala macam hadis dhaif, baik untuk menetapkan hokum maupun untuk
memberi sugesti amalan utama. Pendapat ini dikuatkan oleh Abu Bakar Ibnu al Arabi.

Pendapat kedua membolehkanMeskipun dengan melepas sanadnya dan tanpa menerangkan sebab2 kelemahaannya—apabila hadits ini dimaksudkan untuk memberi sugesti dan menerangkan keutamaan amal (cerita-cerita, bukan untuk menetapkan hokum-hukum syariat, seperti halal dan haram, dan bukan untuk menetapkan akidah).


Para Imam seperti Ahmad Ibn Hanbal dan Abdullah Ibn Al Mubarak berkata, “Apabila kami meriwayatkan hadis tentang halal, haram dan hokum-hukum, kami perkeras sanadnya dan kami keritik perawinya. Tetapi jika kami meriwayatkan tentang keutamaan amal, pahala, dan siksa, kami permudah dan perlunak perawi2nya”.


Habib Mundzir AlMusawwa dalam “Kenalilah Aqidahmu”, menyatakan:
Hadits dhoif tak dapat dijadikan Hujjah atau dalil dalam suatu hukum, namun tak sepantasnya kita menafikan  meniadakan) hadits dhoif, karena hadits dhoif banyak pembagiannya, Dan telah sepakat jumhur para ulama untuk menerapkan beberapa hukum dengan berlandaskan dengan hadits dhoif, sebagaimana Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah, menjadikan hukum bahwa bersentuhan kulit antara pria dan wanita dewasa tidak membatalkan wudhu,dengan berdalil pada hadits Aisyah ra bersama Rasul saw yang Rasul saw menyentuhnya dan lalu meneruskan shalat tanpa berwudhu, hadits ini dhoif, namun Imam Ahmad memakainya

Sebagian besar hadits dhoif adalah hadits yang lemah sanad perawinya atau pada matannya, tetapi bukan berarti secara keseluruhan adalah palsu, karena hadits palsu dinamai hadits munkar, atau mardud, batil, maka tidak  sepantasnya kita menggolongkan semua hadits dhaif adalah hadits palsu, dan menafikan (menghilangkan) hadits dhaif karena sebagian hadits dhaif masih diakui sebagai ucapan Rasul saw, dan tak satu muhaddits pun yang berani menafikan keseluruhannya, karena menuduh seluruh hadist dhoif sebagai hadits yang palsu berarti mendustakan ucapan Rasul saw dan
hukumnya kufur. Rasulullah Saw bersabda : “Barangsiapa yang sengaja berdusta dengan ucapanku maka hendaknya ia bersiap - siap mengambil tempatnya di neraka” (Shahih Bukhari hadits No.110).

Sabda beliau SAW pula : “sungguh dusta atasku tidak sama dengan dusta atas nama seseorang, barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku maka ia bersiap siap mengambil tempatnya di neraka” (Shahih Bukhari hadits No.1229).

Ibnu Hajar Al Asqalani termasuk ulama hadis yang membolehkan berhujjah dengan hadits dhaif untuk keutamaan amal. Ibn Hajar memberikan 3 syarat dalam hal meriwayatkan hadis dhaif yaitu:

  1. Hadis dhaif itu tidak keterlaluan. Oleh karena itu, untuk hadis2 dhaif yang disebabkan perawinya pendusta, tertuduh dusta, dan
    banyak salah, tidak dapat dijadikan hujjah meskipun untuk kebaikan amal.
  2. Dasar amal yang ditunjuk oleh hadits dhaif tersebut masih berada di bawah satu dasar yang dibenarkan  oleh hadis yang dapat diamalkan (shahih dan hasan).
  3. Dalam mengamalkannya tidak mengiktikadkan atau menekankan  bahwa hadist tersebut benar-benar bersumber kepada Nabi SAW, tetapi tujuan mengamalkannya hanyak semata-mata untuk kehati-hatian belaka.

Disarikan dari kitab Bulughul  Maram: Ibn Hajar Al-Asqalani;
Kenalilah Aqidahmu: Habib Mundzir Al Musawwa

diambil dari :
https://www.facebook.com/notes/masjid-al-ittihad-permata-cimanggis/sedikit-tentang-hadits/810766032286408

No comments

Post a Comment